Thursday, 30 August 2018

Album Troye Sivan - Bloom (2018)


Official Cover 2nd Album Troye Sivan - Bloom
Published by EMI Australia & Capitol Records

BLUE NEIGHBOURHOOD is over! Welcome to BLOOM era! Finally.. Akhirnya Album terbaru dari Troye Sivan yang kedua resmi dirilis secara global pada 31 Agustus 2018. Kesuksesan debut album perdananya yang dirilis pada tahun 2015 lalu membuat nama Troye Sivan semakin meroket di industri musik internasional. Usai berakhirnya era BLUE NEIGHBOURHOOD (2015) lewat hit-single Heaven, nama Troye Sivan tidaklah tenggelam. Martin Garrix berkolaborasi dengannya lewat single EDM berjudul There For You. Single ini berhasil menjadi salah satu lagu summer paling banyak diputar dan sempat menembus Top 20 Hot 100 Chart Billboard Music. Bahkan penjualan single lagu There For You ini mendapatkan sertifikat Gold dan Platinum diberbagai negara. Salah satunya di Amerika Serikat saja lagu ini berhasil mendapatkan Gold dan tembus 500.000 copy lebih.
Usai kesuksesan single bersama Martin Garrix, Troye Sivan juga terlibat menjadi pengisi soundtrack film LOVE, SIMON (2018) berjudul Strawberry & Cigarettes. Lagunya sendiri menurutku vibesnya sangat kental nuansa BLUE NEIGHBOURHOOD.
Album terbaru Troye Sivan yang berjudul BLOOM (2018) yang dirilis pada akhir Agustus 2018 ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan debut albumnya. Troye Sivan sendiri mengungkapkan bahwa album keduanya bagaikan "Sex's Album" dan terasa semakin "gelap" dibandingkan dengan BLUE NEIGHBOURHOOD (2015).
Sepanjang menulis postingan ini, aku sambil memutar album BLOOM (2018). Dan menurutku album kedua Troye Sivan ini benar memiliki perbedaan. Pada track My! My! My!, Bloom, Plum berirama up-beat khas lagu-lagu Troye Sivan. Yang memiliki perbedaan yang cukup mencolok menurutku adalah pada track-track berirama slow dan menggunakan aransemen semi-accoustic. Bikin adem telinga.
Dalam album BLOOM (2018) ini juga terasa Troye Sivan sedang dilanda jatuh cinta dan sangat bahagia. Hal tersebut terlihat pada setiap track dan lirik dalam album ini. Berbeda dengan debut albumnya yang penuh dengan lagu-lagu patah hati dan bikin sesak dada. Menurutku sih, ketika Troye sedang mengerjakan album ini sedang dilanda jatuh cinta bersama dengan kekasihnya. Terlihat dari beberapa postingan sosial media Troye Sivan dan kekasihnya yang selalu terlihat bahagia satu sama lain.
Beberapa Music Video untuk era BLOOM (2018) juga sudah dirilis. Single pertama yakni My! My! My! kemudian dilanjut The Good Side, lalu Bloom, kemudian Dance to This bersama Ariana Grande dan yang terakhir adalah Animal. Di era BLOOM (2018) ini Troye menurutku tampil semakin all-out tidak malu-malu seperti di debut albumnya. Ia terlihat begitu confidence dengan menjadi dirinya sendiri. It's cool buddy!



Berikut adalah tracklist lengkap Album Troye Sivan - BLOOM (2018):

1. Seventeen
2. My! My! My!
3. The Good Side
4. Bloom
5. Postcard (feat. Gordi)
6. Dance to This (feat. Ariana Grande)
7. Plum
8. What a Heavenly Way to Die
9. Lucky Strike
10. Animal
11. This This *TARGET EXCLUSIVE, BONUS TRACKS & JAPAN VERSION*
12. Running Shoes *TARGET EXCLUSIVE, BONUS TRACKS & JAPAN VERSION*


Berikut adalah Live Streaming Troye Sivan - BLOOM (2018) yang disiarkan live di Youtube, Facebook, Instagram dan Twitter pada 31 Agustus 2018 waktu Amerika Serikat.

Dengarkan dan Simpan Troye Sivan - Bloom Album disini (Kualitas iTunes) atau bisa streaming langsung secara online di Apple Music, Spotify dan Joox!

[Review] Wiro Sableng: Balas Dendam Atas Pengkhianatan & Kematian Orang Tua


#Description:
Title: Wiro Sableng 212: The Dragon Axe Warrior (2018)
Casts: Vino G. Bastian, Sherina Munaf, Yayan Ruhian, Fariz Alfarizi, Aghniny Haque, Ruth Marini, Dwi Sasono, Lukman Sardi, Marcella Zalianty, Marsha Timothy, Teuku Rifnu Wikana, Yusuf Mahardika, Dian Sidik, Cecep Arif Rahman, Andy Rif, Marcell Siahaan, Happy Salma
Director: Angga Dwimas Sasongko
Studio: LifeLike Pictures, 20th Century Fox

#Synopsis:
Pada suatu malam, sebuah desa didatangi oleh para pendekar kegelapan yang dipimpin oleh Mahesa Birawa (Yayan Ruhiyan). Para pendekar pemberontak ini merampas dan menghancurkan seisi desa. Suci (Happy Salma) dan Ranaweleng (Marcell Siahaan) berusaha untuk melawan dan melindungi anaknya Wiro (Vino G. Bastian) dari Mahesa, tapi usaha tersebut gagal. Kedua orangtua Wiro tewas ditangan Mahesa. Ketika Mahesa akan menghabisi Wiro, seorang wanita tua langsung menyelamatkan Wiro. Ia adalah Sinto Gendeng (Ruth Marini) yang merupakan guru pendekar yang tinggal di Gunung Gede.


Wiro berhasil diselamatkan oleh Sinto. Tahun demi tahun berlalu. Wiro tumbuh menjadi dewasa. Selama dibesarkan oleh Sinto, Wiro banyak sekali mendapatkan ilmu bela diri dan kekuatan untuk menumpas segala kejahatan. Ketika dirasa usia dan kemampuan Wiro sudah pas, Sinto Gendeng kemudian memberikan sebuah alat senjata pada Wiro yang bernama Kapak Maut Naga Geni 212. Sinto lalu memberitahukan pada Wiro untuk mencari tahu keberadaan Mahesa. Yang ternyata Mahesa sendiri merupakan anak angkat yang dibesarkan Sinto sama seperti Wiro namun Mahesa malah mengkhianati Sinto dan pergi meninggalkannya usai mendapat semua ilmu dari Sinto.
Mendengar hal itu, Wiro tanpa pikir panjang langsung setuju untuk mencari dan menghabisi Mahesa. Karena Mahesa adalah orang yang telah membuatnya menjadi yatim piatu. Dalam perjalanan mencari Mahesa, Wiro bertemu dengan Anggini (Sherina Munaf) murid dari Dewa Tuak (Andy Rif). Anggini sendiri sangat berambisi untuk menjadi seorang pendekar. Dewa Tuak lalu menyuruh Anggini untuk bergabung dan membantu Wiro. Jika Anggini dan Wiro berhasil mengalahkan Mahesa, Dewa Tuak menjanjikan akan meluluskan Anggini menjadi seorang pendekar.


Waktu terus berlalu. Pada suatu hari, Wiro tak sengaja mampir disebuah warung. Disana ia melihat sosok pangeran (Yusuf Mahardika) dan Raramurni (Agniny Putri) yang tengah menyamar. Mereka menyamar agar bisa berbaur dengan masyarakat biasa. Tapi sayang, penyamaran mereka terbongkar ketika rombongan anak buah Mahesa yang dipimpin oleh Kaligundil (Dian Sidik) berhasil mengetahuinya. Mereka ternyata mengincar pangeran yang merupakan pewaris kerajaan yang dipimpin oleh Paduka Raja Kamandaka (Dwi Sasono) dan permaisuri (Marcella Zalianty). Melihat pangeran dan Raramurni terancam bahaya, Wiro dan Anggini tidak tinggal diam. Keduanya langsung menolong keduanya dan melawan Kaligundil beserta dengan rekan-rekannya.
Wiro berhasil menaklukan Kaligundil. Pangeran dan Raramurni sangat berterima kasih atas apa yang telah dilakukan Wiro dan Anggini. Ketika dalam perjalanan berikutnya, mereka bertemu dengan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi) yang juga siap menemani Wiro dan Anggini untuk mengalahkan Mahesa.
Akankah Wiro, Anggini dan Bujang Gila bertemu dengan Mahesa?


#Review:
Setelah penantian cukup panjang, akhirnya salah satu film Indonesia yang paling ditunggu kehadirannya tahun ini yaitu WIRO SABLENG 212 (2018) akhirnya rilis di bioskop Indonesia mulai hari ini Kamis, 30 Agustus 2018. Alhamdulillah aku berkesempatan bisa menyaksikan fillm arahan Angga Dwimas Sasongko ini lebih awal pada malam Gala Premiere yang dilangsungkan pada tanggal 27 Agustus 2018 kemarin di Epicentrum XXI Jakarta. Suasana Gala Premiere WIRO SABLENG 212 (2018) ini menurutku boleh dibilang sangat ramai dan audience nya membludak. Di area lobby luar terdapat black carpet Wiro Sableng yang dihiasi backlight poster karakter film, action figure Wiro Sableng yang keren banget, booth official merchandise, booth para sponsor hingga main-stage yang dibangun serasa menonton konser musik. Tak hanya itu saja, tumpah ruah para undangan dari kalangan selebriti dan juga sederet pejabat menteri di Indonesia ikut memeriahkan Gala Premiere film WIRO SABLENG 212 (2018) ini. Melihat antusias yang sangat tinggi, dua teater Epicentrum XXI Jakarta pun dibooking untuk pertunjukan jam 19:00 dan 21:00 WIB khusus untuk para audience yang hadir pada malam itu.


Lantas apakah film WIRO SABLENG 212 (2018) ini mampu memberikan kepuasan pada para penonton yang sudah lama menanti kehadirannya? Untuk segi cerita, film yang dibintangi Vino G. Bastian ini layaknya seperti film superhero kebanyakan, yakni ringan dan sederhana, tentang perjalanan seorang superhero mencari villain yang telah menyebabkan orangtuanya tewas. Dengan durasi penceritaan mencapai 120 menit, Angga Dwimas Sasongko dan penulis skenario membawa kisah Wiro Sableng dengan unsur action dan komedi di hampir semua adegan. Durasi yang cukup melar ini menurutku terlalu panjang, karena cukup banyak adegan komedi (yang tidak terlalu penting banget) dihadirkan dalam film ini. Tumpah ruahnya karakter dalam film ini juga tidak dieksplor lebih jauh lagi. Hanya beberapa karakter saja menurutku yang sukses mendapatkan karakterisasi yang kuat. Mayoritas komedi yang ditampilkan dalam film WIRO SABLENG 212 (2018) ini menurutku juga kebanyakan miss ketimbang yang hit. Angga looks try to hard make a jokes in this movie. Hasilnya, jadi terlihat cukup kaku dan garing. Sorry. Aksi laga yang cukup intense dibeberapa bagian yang menyelipkan komedi sedikit membuatku mengangkatkan alis.


Untuk jajaran pemain, hampir semua karakter yang dimainkan oleh sederet aktor aktris papan atas ini tampil memuaskan. Terutama untuk Vino G. Bastian, Sherina Munaf dan Yayan Ruhian. Aksi fight yang mereka lakukan patut diacungi jempol. Nyaris semua adegan fight dalam film ini sukses membuat decak kagum para penonton. Definisi "Die Hard" lagi-lagi ditampilkan sangat memukau oleh Mahesa Birawa yang diperankan oleh Yayan Ruhian. Come-back Sherina Munaf bermain dalam film layar lebar setelah debutnya 18 tahun silam lewat PETUALANGAN SHERINA (2000) ini tampil cantik dan mempesona. Vino G. Bastian tampil prima sebagai Wiro Sableng.


Untuk segi visual dan CGI yang selama ini dipermasalahkan oleh para netizen di dunia maya, secara keseluruhan film WIRO SABLENG 212 (2018) tampil oke. Beberapa visual dan CGI bahkan smooth dan memukau. Dan yang paling membuatku merinding dalam film ini sih ada dua hal. Yakni, yang pertama, opening film muncul logo 20th Century Fox dan scoring musik film ini sungguh Hollywood taste. Aksi fight yang menggunakan gaya silat dalam film ini kemudian diiringi musik intens khas film action Hollywood begitu mengesankan.
Overall, film WIRO SABLENG 212 (2018) sebagai penanda bangkitnya film superhero asli Indonesia berhasil memberikan standar yang tinggi. Materi promosi sangat gencar dimana-mana serta sponsor yang membludak tak heran film ini sangat worth it ditonton di bioskop. Kalian harus #SiapSableng pokoknya!

Oia jangan lupa, ada mid credit scene setelah film WIRO SABLENG 212 (2018) usai. Kemunculan sosok ..... ini sukses membuatku merinding dan memberi clue untuk cerita selanjutnya dari film WIRO SABLENG Universe!


[7/10Bintang]

Wednesday, 29 August 2018

[Review] Sultan Agung The Untold Story: Mengenal Sejarah Kerajaan Mataram


#Description:
Title: Sultan Agung (2018)
Casts: Ario Bayu, Marthino Lio, Adinia Wirasti, Putri Marino, Anindya Putri, Christine Hakim, Deddy Sutomo, Meriam Bellina, Lukman Sardi, Teuku Rifnu Wikana, Asmara Abigail, Hans De Krakker
Director: Hanung Bramantyo
Studio: Mooryati Soedibyo Cinema


#Synopsis:
Raden Mas Rangsang (Marthino Lio & Ario Bayu) adalah seorang anak dari keluarga kerajaan. Ayahnya adalah Panembahan Hanyakrawati dan ibunya, Gusti Ratu Banawati (Christine Hakim). Meskipun Mas Rangsang adalah keturunan ningrat, ia tidak mau tinggal dan besar sebagai di lingkungan kerajaan. Ia lebih senang membaur dengan masyarakat. Ia juga dibesarkan dan diasuh oleh Ki Jejer (Deddy Sutomo) agar bisa lebih dekat dengan warga. Selama berbaur dengan masyarakat biasa, Mas Rangsang berkenalan dengan banyak orang. Salah satunya ia berkenalan dan dekat dengan Lembayung (Putri Marino & Adinia Wirasti). Lembayung sendiri adalah seorang wanita tangguh yang menguasai bela diri dan panahan. Beranjak dewasa, Mas Rangsang mau tak mau harus menggantikan posisi sang ayah yang wafat. Awalnya pengganti Panembahan Hanyakrawati bukanlah Mas Rangsang, istri pertamanya almarhum yakni Gusti Ratu Tulung Ayu (Meriam Bellina) memiliki kandidat lain. Namun atas dasar suatu hal, posisi pengganti tersebut batal dan digantikan oleh Mas Rangsang.


Gelar Sultan Agung Hanyakrukusuma yang Mas Rangsang dapatkan ternyata bukanlah perkara mudah karena pada saat menerima gelar tersebut, ia masih berusia remaja. Tugas Sultan Agung kala itu cukuplah berat. Ia harus menyatukan adipati-adipati di tanah Jawa yang terpecah belah gara-gara kedatangan VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen (Hans De Krakker).
Ketika beranjak dewasa, kisah asmara Sultan Agung juga mendapat cobaan. Perempuan yang ia cintai yakni Lembayung tak bisa ia nikahi lantaran Sultan Agung diharuskan menikah dengan keturunan ningrat juga. Sultan akhirnya menikahi Ratu Batang (Anindya Putri) meskipun ia tidak mencintainya.
Suatu hari, kemarahan Sultan Agung memuncak ketika VOC datang ke Mataram. Pihak VOC awalnya hanya berjanji hanya akan menjalin kerjasama saja dengan kerajaan Mataram, tapi ternyata tanpa persetujuan Sultan Agung, VOC malah membangun kantor di wilayah Batavia. Mendapat informasi seperti itu tak membuat Sultan Agung diam. Ia dibantu oleh pamannya, Tumenggung Notoprojo (Lukman Sardi), Kelana (Teuku Rifnu Wikana) dan yang lainnya untuk merencanakan perang di Batavia sampai meninggalnya Coen dan runtuhnya VOC disana.

Selama perjalanan menuju Batavia, Sultan Agung harus menghadapi berbagai rintangan dan pengkhianatan dari berbagai pihak. Serangan pertama yang melibatkan ribuan prajurit dari kerajaan Mataram ternyata tak berhasil meruntuhkan kekuasaan VOC. Melihat kegagalan pada serangan pertama, Sultan Agung kemudian berantisipasi mendirikan lumbung padi dikawasan yang tak jauh dari Batavia sebagai strategi untuk menaklukan VOC. Namun cara tersebut lagi-lagi gagal. Meskipun serangan kedua yang dilakukan oleh Sultan Agung dan prajuritnya gagal, namun disisi lain, mereka berhasil membendung dan mengotori sungai Ciliwung yang mengitari Batavia. Tercemarnya sungai Ciliwung menimbulkan wabah penyakit dan dan kolera di Batavia. Jan Pieterzoon Coen menjadi korban dari wabah penyakit dan akhirnya meninggal.
Usai kematian pimpinan VOC, Sultan Agung menghidupkan kembali padepokan tempatnya belajar untuk melestarikan tradisi dan budaya-budaya kerajaan Mataram.



#Review:
Salah satu sutradara terbaik di Indonesia yakni Hanung Bramantyo tahun ini kembali menghadirkan sebuah film biopik pahlawan nasional yaitu Sultan Agung setelah sebelumnya sukses dengan film SANG PENCERAH (2010), GENDING SRIWIJAYA (2013), SOEKARNO (2013) dan yang paling baru adalah KARTINI (2017). Ide pembuatan film ini berasal dari Presiden Direktur Mustika Ratu dan Yayasan Puteri Indonesia yakni Ibu Mooryati Soedibyo dibawah naungan Mooryati Soedibyo Cinema. Beliau ingin sekali mengangkat perjalanan sosok Sultan Agung dan kerajaan Mataram ke layar lebar bioskop. Dengan menggelontorkan dana yang tidak sedikit, Hanung Bramantyo yang dibantu X.Jo tampaknya tak mengalami kesulitan untuk membuat film ini. Hal ini terlihat sangat jelas lewat deretan pemain yang membintangi film ini. Nama-nama besar yang tak perlu lagi diragukan kualitas aktingnya. Set lokasi, properti, artistik, visual dan musik dalam film ini boleh dibilang paling TERBAIK jika dibandingkan dengan film biopik lokal yang sudah dirilis.
Dengan durasi mencapai 148 menit, Hanung Bramantyo dan tim penulis skenario leluasa untuk mengeksplor cerita Sultan Agung lebih luas dan mengesankan. Nilai-nilai sejarah dan kebudayaan sangat kental terasa dalam film ini.


Sepanjang film bergulir, aku sama sekali tidak bosan. Sebuah film biopik / sejarah yang mempunyai durasi melar tapi tidak membosankan menurutku sudah menjadi poin plus dan berhasil untuk filmnya. Mungkin benar adanya, belajar menikmati sebuah sejarah lewat film akan menimbulkan kesan yang lebih mendalam ketimbang belajar lewat bacaan saja. Plotline film SULTAN AGUNG (2018) ini jelas dan enak diikuti. Kita bisa mengenal lebih dekat kerajaan Mataram.


Yang tak boleh dilupakan dalam film ini sudah jelas adalah deretan para pemainnya. Akhirnya aku bisa melihat Marthino Lio dieksplor kualitas aktingnya oleh Hanung. Performance Marthino patut diacungi jempol. Yang cukup membuatku takjub disini adalah, Marthino Lio semakin mirip dengan Ario Bayu. Tepat sekali Hanung memberikan peran Sultan Agung pada mereka berdua. Haha. Oia kapanlagi bisa melihat Adinia Wirasti, Putri Marino, Lukman Sardi, Teuku Rifnu Wikana hingga Asmara Abigail melakukan adegan aksi pertarungan dalam sebuah film. Mereka semua tampil totalitas. Aku bahkan selalu terharu tiap adegan perang di film ini bergulir. Semuanya mengesankan bagiku. Sosok yang paling aku suka berikutnya adalah karakter Gusti Ratu Tulung Ayu yang diperankan oleh Meriam Bellina. Meskipun tampil sebentar, tapi kualitas akting Meriam Bellina begitu mengesankan. Pangling dan cantik banget sih Bu Mer!
Overall, sebagai sebuah film biopik sejarah tentang pahlawan nasional. Film SULTAN AGUNG (2018) karya Hanung Bramantyo ini tak membosankan, memukau dan pastinya epic!


[8/10Bintang]

Sunday, 26 August 2018

[Review] Searching: Menelusuri Hilangnya Remaja Melalui Dunia Maya


#Description:
Title: Searching (2018)
Casts: John Cho, Megan Liu, Sara Sohn, Debra Messing, Connor McRaith, Ric Sarabia.
Director: Aneesh Chaganty
Studio: Sony Pictures

#Synopsis:
Keluarga Kim adalah salah satu keluarga dari generasi modern yang sangat mencintai sebuah moment. Sang ayah yakni David Kim (John Cho) dan istrinya, Pamela Kim (Sara Sohn) selalu merekam setiap aktivitas sehari-hari mereka. Tujuannya sederhana, agar mereka selalu mengingat dan menghargai setiap moment kebersamaan mereka. David dan Pamela dikaruniai seorang anak perempuan bernama Margot Kim (Megan Liu). Keluarga Kim tumbuh menjadi keluarga kecil yang hangat dan penuh kasih sayang.


Waktu terus berlalu, sang ibu jatuh sakit. Kondisinya semakin melemah dan akhirnya meninggal dunia. David dan Margot sangat kehilangan orang yang mereka cintai. Hanya lewat berbagai foto dan cuplikan rekaman video lah yang bisa membuat mereka mengingat Pamela. Kehidupan David dan Margot terus berlanjut. Komunikasi diantara mereka berdua tak pernah putus. Telepon, FaceTime, Skype dan VideoCall menjadi alat komunikasi mereka jika mereka sedang tak bersama. 
Rutinitas keduanya berjalan seperti biasanya. Namun pada suatu malam, dering panggilan tak terjawab muncul di notifikasi laptop dan ponsel David. Panggilan tersebut berasal dari Margot. Ketika David mencoba untuk memanggil kembali Margot, teleponnya sudah tidak aktif. David mulai khawatir akan anaknya itu. Ia lalu mencoba menghubungi salah satu orangtua temannya untuk mencari tahu keberadaan Margot. Usai menelepon, David sedikit bisa tenang, ia yakin Margot sedang berkemah dengan teman sekolahnya.


Keesokan harinya, salah satu temannya Margot memberitahu David bahwa Margot ternyata absen tidak ikut acara kemah. David makin panik dan khawatir. Sudah seharian ini anaknya hilang tanpa kabar. Ia lalu melaporkan hilangnya Margot ke pihak kepolisian. David pun mendapat bantuan dari Detective Vick (Debra Messing) untuk menyelidiki kemana perginya Margot. Detective Vick mempunyai reputasi yang cukup baik dalam memecahkan sebuah kasus. David tidak tinggal diam, ia berusaha mencari jejak Margot lewat laptop anaknya. Disana David mencoba berinteraksi dengan beberapa teman Margot di sosial media Facebook, Instagram, Tumblr hingga YouCast. Perlahan tapi pasti baik Detective Vick maupun David mulai menemukan titik terang soal hilangnya Margot. 
Hasil penelusuran yang dilakukan David rupanya lebih cepat. Ia berhasil menemukan titik terakhir Margot terlihat sebelum hilang. Tempat tersebut menuju sebuah perbukitan dan danau di wilayah San Jose, California. Detective Vick pun bergegas untuk melacak lebih jauh tentang hasil penelusuran David. Berhasilkah David menemukan Margot?



#Review:
Film yang fokus pada interface gadget atau sosial media mempunyai daya tarik tersendiri khususnya buatku. Kapanlagi bisa melihat interface sebuah layar laptop berukuran raksasa di layar lebar bioskop. Makanya, ketika Sony Pictures merilis film SEARCHING (2018) di bioskop, aku semangat banget buat nonton. Pasalnya, dulu ketika UNFRIENDED (2014) dan sekuelnya UNFRIENDED 2: DARK WEB (2018) serta OPEN WINDOWS (2014) rilis, tidak tayang di bioskop Indonesia. 
Untuk segi cerita, film SEARCHING (2018) ini mempunyai plot yang kuat dan berhasil membuat penontonnya seperti ikut terlibat untuk mencari tahu hilangnya Margot. Moment paruh awal film disuguhi cuplikan-cuplikan video yang lumayan touching tentang keluarga David Kim. Lanjut menuju paruh tengah film, misteri mulai ditebar. Melacak keberadaan Margot lewat laptop dan sosial media dirinya yang dilakukan oleh David Kim cukup sukses membuat penonton fokus terhadap setiap hint yang ditebar. Tak lupa juga sang sutradara dan penulis skenario menyelipkan sedikit humor ketika David yang tidak terlalu kekinian ketika moment Tumblr dan YouCast. 


Twist yang dihadirkan juga terasa sangat rapi dan rasionable. Aku sendiri cukup kaget karena disepanjang film, penonton digiring untuk menuduh satu persatu pelaku tapi ternyata dugaan itu meleset. Yang paling aku suka adalah interface dalam film ini sangat interaktif. Kita bisa melihat ekspresi kuat dengan baik yang dihadirkan John Cho sebagai David Kim lewat beberapa tampilan webcam, facetime, videocall hingga tampilan liputan berita. Poin plus berikutnya terletak pada penggunaan gadget dalam film ini terasa sangat real. Kan biasanya kalau Sony Pictures rilis sebuah film, biasanya selalu menggunakan product mereka sendiri dalam filmnya, tapi di film SEARCHING (2018) ini tidak dibuat seperti itu. Apple Product sangat mendominasi dalam film ini haha. Oia dalam film ini juga penggunaan sosial media yang sesungguhnya sangat terasa. Aku gak bisa bayangin sih kalau misalnya Margot adalah seleb-internet baik itu Instagram, Twitter, Facebook maupun YouCast. Bisa pusing setengah mati sang ayah ketika melacaknya haha.
Overall film ini memuaskan banget! Yang sedikit aku kurang suka dari film ini cuma satu sih, endingnya kenapa happy ending? hehehe.


[8/10Bintang]

Friday, 17 August 2018

[Review] Rompis: Mencari Kejelasan Status Hubungan Asmara


#Description:
Title: Rompis (2018)
Casts: Arbani Yasiz, Adinda Azani, Beby Tsabina, Umay Shahab
Director: Monty Tiwa
Studio: MNC Pictures


#Synopsis:
Roman (Arbani Yasiz) akhirnya lulus SMA. Berkat bantuan dan usaha keras sang ayah, ia dapat melanjutkan pendidikan ke Belanda. Setibanya di Belanda, Roman memiliki semangat motivasi yang sangat tinggi untuk bisa menjadi laki-laki yang lebih baik. Ia ingin menyelesaikan kuliahnya dengan cepat, memiliki pendidikan yang tinggi, mempunyai penghasilan sendiri, membantu ayahnya bekerja dan bisa menikahi Wulandari (Adinda Azani), kekasihnya.
Namun Roman sendiri merasa belum siap untuk menjadi kekasih Wulandari meskipun semenjak SMA mereka sudah dekat. Bahkan rekan-rekan mereka di sekolah malah menganggap mereka berdua tengah menjalin hubungan asmara. Ia ingin menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan mempunyai kehidupan lebih baik ketika menjalani hubungan dengan Wulandari.


Suatu hari, Roman tak sengaja bertemu dengan Meira (Beby Tsabina) yang merupakan mahasiswi asal Indonesia yang kuliah di universitas yang sama. Tapi Meira ternyata sedang mengambil S2, berbeda dengan Roman yang baru saja masuk. Gara-gara pertemuan tak sengaja itu, Meira perlahan-lahan penasaran dengan sosok Roman. Pertemuan mereka terus berlanjut usai Meira mengetahui Roman mengalami kendala saat mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosennya. Meira lalu berjanji akan membantu Roman mengerjakan tugas kuliahnya dengan satu syarat, ia ingin mendapatkan sebuah puisi tepat di hari ulang tahunnya yang tinggal seminggu lagi.


Sudah beberapa hari menjalani long distance relationship membuat Wulandari mulai khawatir akan Roman di Belanda. Beberapa kali melakukan panggilan video-call tapi selalu berakhir singkat dengan alasan sibuk. Namun suatu ketika, Wulandari tak sengaja melihat Meira ketika video-call dengan Roman. Hal tersebut membuat ia dilanda cemburu. Tanpa pikir panjang, Wulandari langsung terbang ke Belanda untuk memastikan siapa itu Meira. Setibanya di Belanda, kejadian salah faham lagi-lagi terjadi. Wulandari memergoki Meira tengah memeluk Roman. Melihat kedua sahabatnya terus salah faham membuat Sam (Umay Shahab) kebingungan sendiri.
Apakah benar Roman berpaling pada Meira?


#Review:
Sebuah cerita roman remaja tentang sosok laki-laki puitis dan romantis memang sudah banyak di industri film Indonesia. Sebut saja yang paling populer bagi generasi sekarang adalah Rangga lewat AADC kemudian yang paling terbaru adalah Dilan lewat Dilan 1990. Kedua karakter yang dimainkan Nicholas Saputra dan Iqbaal Ramadhan sukses mencuri perhatian pecinta film Indonesia dengan dialog puitis, gombal dan romantisnya. Jauh sebelum mereka berdua, menurut wikipedia yang saya baca, ada satu sosok karakter laki-laki yang juga jago berpuitis. Ia adalah Roman, karakter dari novel karya Eddy D. Iskandar yang hits dan sukses diangkat ke layar lebar pada tahun 1980. Rano Karno dan Lydia Kandou kala itu menjadi pasangan dalam film yang sering dijadikan role model bagi anak-anak remaja kala itu.


Tahun 2017an Roman Picisan terlahir kembali dengan cerita dan pemain baru dibawah rumah produksi MNC Pictures namun dalam format series atau sinetron. Performa rating sinetron Roman Picisan pada awal-awal tayang cukup tinggi dan mendapat respon baik dari penonton televisi. Ketika sinetronnya berakhir, MNC Pictures lalu bergegas melanjutkan cerita Roman Picisan ke layar lebar. Versi filmnya ini disutradarai oleh Monty Tiwa dan skenarionya ditulis oleh Haqi Achmad. Melihat siapa yang berada dibelakang layarnya, tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk menonton film ini di bioskop di hari pertama tayang (seperti biasa), meskipun sinetron dan film dulunya sama sekali belum pernah ku tonton.
Sang sutradara dan penulis skenario membawa film ROMPIS (2018) ini ke level drama remaja romantis yang kualitasnya diatas rata-rata. Haqi Achmad sekali lagi menunjukkan style-nya dia dalam mengolah drama remaja romantis yang pas, related dengan sehari-hari dan tidak lebay. Monty dan Haqi tahu betul harus membawa sosok Roman, Wulandari, Meira dan Sam kemana tujuannya. Plotnya pun aku suka, meskipun sedikit mengingatkan pada film DILAN 1990 (2018) dan EIFFEL I'M IN LOVE 2 (2018). Tapi untungnya film ROMPIS (2018) ini plotline nya tetap fokus pada tujuan utama cerita yakni menjawab kekhawatiran Wulandari, dan itu sangat solid terasa dari awal hingga akhir film. Beberapa moment romantis yang dilakukan oleh Roman terasa sangat sweet namun anehnya aku merasa hal itu pas banget tidak berlebihan. Respon yang dipancarkan oleh lawan jenisnya juga pas. Dialog-dialog diantara mereka dan chemistry nya juga solid-akrab banget.



Jajaran keempat pemain pun memberikan performance diatas rata-rata drama remaja romantis lokal belakangan ini. Arbani Yasiz tampil oke sebagai Roman, Adinda Azani dan Beby Tsabina juga surprisingly kualitas aktingnya semakin mengalami progress signifikan. Aku yakin kedua perempuan tersebut bisa menjadi new something bagi industri film Indonesia kedepannya. Umay Shahab juga tampil sukses menjadi scene stealer dalam film ini. Hampir semua moment pencair suasana disepanjang film berhasil ditaklukan oleh Umay. Goodjob bro!
Yang menurutku sedikit rada kurang sreg sih cuma dua hal. Penggunaan Amsterdam, Belanda sebagai latar cerita. Menurutku, mungkin lebih better berlatar di dalam negeri saja karena Belanda sendiri sekilas hanya seperti tempelan saja tidak berpengaruh drastis terhadap film. Satu lagi, Beby Tsabina aku lebih suka kamu berambut hitam. Hehe >_<


[8/10Bintang]

Wednesday, 8 August 2018

[Review] The Meg: Ganasnya Megalodon, Hiu Zaman Prasejarah


#Description:
Title: The Meg (2018)
Casts: Jason Statham, Li BingBing, Rainn Wilson, Cliff Curtis, Winston Chao, Shuya Sophia Cai, Ruby Rose, Page Kennedy, Robert Taylor, Jessica McNamee, Masi Oka
Director: Jon Turteltaub
Studio: Warner Bros Pictures, China Gravity Pictures


#Synopsis:
Jonas Taylor (Jason Statham) kini hidup sendiri di Thailand usai dirinya memutuskan untuk berhenti menjadi regu penyelamat kapal selam. Keputusan yang Jonas ambil itu lantaran ia merasa sangat bersalah dan disalahkan juga oleh sebagian belah pihak usai dirinya tak mampu menyelamatkan beberapa awak kapal selam yang diserang oleh sosok misterius di dasar palung laut terdalam di bumi. Tak cuma itu saja, beberapa pihak juga menganggap Jonas gila mengenai serangan sosok misterius itu. 
Lima tahun berlalu. Sebuah laboratorium penelitian biologi dasar laut yang berada dibangun didasar laut bernama Mana One - Zhang Ocean tengah mencoba untuk kembali menelusuri dasar palung laut terdalam di bumi untuk meneliti apakah batas antar laut dengan dasar palung laut itu terdapat kehidupan bawah laut yang selama ini belum pernah diketahui oleh umat manusia. Kedalaman dasar palung laut terdalam di bumi itu berada di kawasan laut Shanghai China. Diperkirakan mempunyai kedalaman mencapai kurang lebih 11.000 meter dibawah permukaan laut. Sepanjang sejarah penyelaman kapal selam, belum pernah ada yang menjangkau sampai sejauh itu.
Pemilik Mana One - Zhang Ocean yakni Zhang (Winster Chao) meminta bantuan investor Morris (Rainn Wilson) untuk menginvestasikan sahamnya di Mana One - Zheng Ocean. Sang owner yakin jika penemuan ini berhasil akan menjadi berita yang sangat besar dan bisa melihat spesies biota laut yang tak pernah tercatat oleh sejarah. Zheng dalam mengelola laboratoriumnya dibantu oleh anaknya, Suyin (Li BingBing) yang merupakan single parent dari Meiying (Shuya Sophia Cai), lalu ada Jaxx (Ruby Rose), DJ (Page Kennedy), Mac (Cliff Curtis) dan Heller (Robert Taylor).


Penelitian perdana pun dimulai. Kapal selam itu diisi oleh tiga petugas. Salah satu diantaranya adalah mantan istri Jonas yakni Lori (Jessica McNamee). Kapal selam perdana yang mereka luncurkan berhasil menginjakkan di dasar palung laut itu. Ketika Lori dan kedua awak kapal selam lainnya sedang menjelajah, tiba-tiba mendapat serangan yang cukup besar dan brutal. Dari kamera yang terpantau, terlihat sesosok hiu raksasa zaman prasejarah yang dikenal dengan nama Megalodon. Kapal selam yang diawaki Lori nyaris hancur. 
Mendengar kru kapal selamnya dalam bahaya, Mac kemudian mencoba meminta bantuan pada Jonas. Ia dan Zhang kemudian terbang ke Thailand untuk menemuinya. Meskipun awalnya ia menolak, tapi akhirnya Jonas memutuskan untuk menolong kru kapal selam milik Zhang Ocean. Jonas langsung merasakan flashback ketika kembali ke dasar laut. Jonas berhasil menyelamatkan awak kapal selam itu tapi salah satunya yakni Toshi (Masi Oka) rela untuk terjebak didalam kapal selam demi menyelamatkan dua awak kapal lainnya. Usai insiden tersebut yang mengakibatkan Toshi tewas, ternyata hiu raksasa prasejarah Megalodon itu berhasil keluar dari pembatas antara dasar palung laut. Megalodon kini berkeliaran di laut dan memangsa apapun yang ada dihadapannya.
Kru Zhang Ocean dan Jonas harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan Megalodon yang sedang berkeliaran di laut lepas menuju sebuah bibir pantai yang tengah padat oleh manusia yang sedang berliburan.



#Review:
Aksi hewan raksasa dan buas kembali memeriahkan industri perfilman Hollywood tahun ini. Usai kemarin lewat RAMPAGE (2018) yang dibintangi Dwayne Johnson, kini giliran rekannya di Fast & Furious 8 yaitu Jason Statham yang harus melawan hiu raksasa jaman prasejarah bernama Megalodon. Untuk segi materi promosi dan trailer yang ditebar selama ini, film THE MEG (2018) ini tampak seperti sesuatu yang menjanjikan. Film-film ikan buas memangsa manusia sebut saja JAWS, PIRANHA, DEEP BLUE SEA dan yang kemarin THE SHALLOWS (2016) menurutku menjadi deretan film ikan buas yang bagus dan memuaskan. Akankah THE MEG (2018) ini mampu seperti tiga judul diatas?
Untuk segi cerita, film THE MEG (2018) ini dimulai dengan cukup baik dengan kengerian serangan hiu raksasa yang disembunyikan. Namun ketika menuju pertengahan film, intens thriller sepanjang si Megalodon beraksi malah menurutku semakin biasa saja. Padahal penggambaran Megalodon nya sudah cukup bikin berdecak kagum. Konflik yang dihadirkan juga terlalu banyak cabangnya yang akhirnya ketika menuju penyelesaian konflik, cara eksekusinya juga biasa saja. Beberapa hal juga terlalu dibuat serba cepat dan instan.
Jason Statham tampil tak terlalu mengesankan. Masih seperti dirinya sendiri di film-film sebelum ini. Yang cukup mencuri perhatian adalah karakter yang diperankan oleh Li BingBing dan anaknya. Chemistry keduanya terasa pas dan Shuya Sophia Cai tampil menggemaskan banget.
Untuk segi visual dan CGI, kualitas film THE MEG (2018) ini memuaskan layaknya film-film blockbuster pada umumnya. Terutama visual laboratorium Mana One - Zhang Ocean nya cukup berhasil membuatku takjub.
Overall, THE MEG (2018) is another popcorn-blockbuster movie of the year. Just sit and relax at your seat.


[7/10Bintang]

Sunday, 5 August 2018

[Review] Sebelum Iblis Menjemput: Menguak Rahasia Kelam Sang Ayah


#Description:
Title: Sebelum Iblis Menjemput (2018)
Casts: Chelsea Islan, Pevita Pearce, Karina Suwandi, Ruth Marini, Ray Sahetapy, Samo Rafael, Khadija Shahab, Kinaryosih
Director: Timo Tjahjanto
Studio: Skymedia, Legacy Pictures



#Synopsis:
Ditengah kondisi ekonomi yang semakin parah, Lesmana (Ray Sahetapy) akhirnya memutuskan untuk pergi menemui seorang dukun perempuan (Ruth Marini). Dengan segala perjanjian mistis yang telah disepakati diantara mereka, impian Lesmana menjadi kenyataan. Dalam sehari, harta kekayaannya melimpah. Ia bahkan menjadi pengusaha dan pebisnis property sukses.
Kesukesan yang Lesmana peroleh itu membuatnya buta. Lesmana malah meninggalkan istrinya (Kinaryosih) beserta dengan anak mereka Alfie (Chelsea Islan) dan menikah lagi dengan seorang aktris bernama Laksmi (Karina Suwandi). Kehidupan baru Lesmana dan Laksmi yang dilimpahi materi yang melebihi dari cukup itu dianugerahi tiga orang anak, mereka adalah Maya (Pevita Pearce), Ruben (Samo Rafael) dan Nara (Khadija Shahab). Kehidupan Alfie malah sebaliknya ia tumbuh dalam ekonomi yang pas-pasan. Alfie juga kini harus hidup mandiri setelah ibunya tewas secara misterius. Kebencian Alfie pada ayahnya semakin membesar karena sudah meninggalkan mereka usai memiliki kehidupan yang layak.


Namun kekayaan bergelimang harta yang dirasakan Lesmana tidak terlalu berlangsung lama. Bahkan secara mengejutkan, semua usaha dan bisnisnya bankrupt. Lesmana kemudian kembali meminta bantuan pada dukun yang dulu telah menolongnya. Usai menjumpai dukun tersebut, Lesmana tiba-tiba jatuh sakit dan menderita penyakit aneh. Sekujur tubuhnya mengeluarkan bau busuk dan banyak benjolan berdarah. Maya, Ruben dan Nara dipertemukan kembali dengan Alfie di rumah sakit ketika menjenguk ayah mereka. Setelah itu, Alfie kemudian bertemu dengan Laksmi. Pertemuan dua keluarga ini tak membuat Alfie bahagia. Ia semakin membenci keluarga baru ayahnya itu.
Laksmi kemudian mencari tahu rumah lama Lesmana ketika masih tinggal dengan Alfie dan istrinya. Rumah itu terletak disebuah puncak yang dikelilingi hutan. Usai kematian sang istri pertama, rumah itu ditinggalkan begitu saja oleh Lesmana. Alfie pun kabur pergi dari rumah tersebut. Laksmi yakin di rumah itu masih ada berkas berkas penting Lesmana yang mungkin bisa dijual. Laksmi dan ketiga anaknya lantas pergi ke rumah tersebut.



Setibanya disana, Laksmi dan ketiga anaknya bertemu dengan Alfie yang sudah tiba duluan dirumah tersebut. Dibantu ketiga anaknya, Laksmi menelusuri rumah tersebut namun tak menemukan sesuatu yang berharga. Laksmi lalu berniat untuk menjual rumah tersebut secepatnya. Mendengar hal tersebut membuat Alfie marah. Ia tak ingin rumah masa kecilnya itu dijual.
Konflik antara keluarga Laksmi dan Alfie pun semakin memanas. Disaat yang bersamaan itu pula hadir sebuah kekuatan misterius di rumah tersebut usai Ruben berhasil membuka sebuah pintu basement rumah yang terkunci rapat. Kekuatan misterius itu bahkan menyeret Laksmi dan kemudian membuatnya ia kerasukan.
Melihat ibunya dalam kondisi bahaya membuat ketiga anaknya dan Alfie panik dan ketakutan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?





#Review:
Industri film horror Indonesia dalam beberapa tahun ini mengalami peningkatan baik itu dalam segi kualitas dan kuantitas. Dalam Top 15 Box Office tahun 2018 ini saja delapan dari lima belas judul yang sukses tembus diatas satu juta penonton adalah film Indonesia genre horror. Hal ini membuktikan bahwa pecinta film Indonesia untuk genre horror masih cukup tinggi. Namun dari sekian judul film horror yang dirilis belakangan ini mayoritas tampil tidak terlalu memuaskan untuk segi kualitas. Tahun ini saja menurutku, film Indonesia bergenre horror yang boleh dibilang sebagai film horror yang bagus pada tahun ini itu masih bisa dihitung dengan jari. Diantaranya: DANUR2 MADDAH, SABRINA dan KAFIR. Ketiga film tersebut mampu menampilkan sebuah film horror yang tak cuma mengandalkan jumpscare saja tapi memberikan scenario serta performa pemain yang memuaskan.
Bulan Agustus 2018 ini seperti menjadi early Halloween season bagi industri film Indonesia. Tak tanggung-tanggung ada lima judul film horror yang akan tayang. Salah satu diantaranya adalah film horror produksi Legacy Pictures yakni SEBELUM IBLIS MENJEMPUT (2018). Yang cukup menjanjikan dalam film ini adalah bangku sutradara nya diduduki oleh Timo Tjahjanto. Pria dibalik kengerian dan kesadisan film RUMAH DARA (2009) dan KILLERS (2014). Tak cuma itu saja, deretan pemain yang dihadirkan dalam film adalah Chelsea Islan dan Pevita Pearce. Yang dimana ini merupakan film horror pertama bagi mereka. Rasa penasaran para pecinta film Indonesia termasuk aku semakin tinggi untuk film ini. Ingin tahu juga mengapa Chelsea Islan dan Pevita Pearce berani ambil film SEBELUM IBLIS MENJEMPUT (2018) ini.
Akhirnya, aku berkesempatan bisa menghadiri Gala Premiere film SEBELUM IBLIS MENJEMPUT (2018) yang diselenggarakan di Plaza Indonesia XXI Jakarta pada Jum’at 3 Agustus 2018 lalu. Situasi Gala Premiere pun lumayan banyak dihadiri bintang-bintang perfilman Indonesia dan sederet selebriti lainnya. Terlihat Dian Sastrowardoyo, Joe Taslim, Jefri Nichol, Derby Romero, Rizky Nazar, Sigi Wimala hingga Lucinta Luna juga datang menghadiri Gala Premiere.


Ketika preskon usai penayangan untuk media, sederet pemain, sutradara dan perwakilan dari rumah produksi film ditanyai oleh rekan media. Chelsea Islan dan Pevita Pearce mengutarakan alasannya untuk bermain dalam film ini. Mereka juga diberi tantangan yang cukup berat dari Timo Tjahjanto selama proses shooting film. Bahkan untuk Chelsea Islan sendiri ia diharuskan bermain lumpur semalaman untuk salah satu adegan dalam film ini.
Undangan Gala Premiere untuk para penerima undangan dimulai pukul 19:00 WIB. Setelah mendengar semua informasi ketika presskon, aku langsung berharap film ini mampu dan yakin memuaskan para penontonnya. Tanpa perlu basa basi, film dibuka dengan intense horror yang mencekam. Meskipun bercerita pada siang bolong, tapi moment menyeramkannya sangat kuat terasa. Gila sih, menit pertama aja sudah sukses membuatku ketakutan.



Cerita kemudian berlanjut. Perlahan tapi pasti jalan ceritanya mengalir dan tak lupa juga diselipkan hal-hal menyeramkan yang sukses mengguncang psikis. Kita diajak berkenalan dengan delapan pemain dalam film ini. Ya cuma delapan orang saja. Masing-masing karakter surprisingly diberi cerita dan konflik yang kuat agar inti cerita film ini terjaga secara keseluruhan. Semua karakter mempunyai kekuatan masing-masing. Yang menjadi highlight film ini menurutku ada pada empat karakter perempuan yang diperankan oleh Chelsea Islan, Pevita Pearce, Karina Suwandi dan Ruth Marini. Chelsea Islan dan Pevita Pearce memberikan performance akting keluar dari zona nyamannya. Keduanya apik memerankan Alfie dan Maya. Chelsea sukses menghadirkan sosok Alfie yang dilanda kebencian serta ketakutan psikis yang memukau. Pevita juga mengejutkan mampu menghadirkan sosok Maya yang sukses lepas dari bayang-bayang rangkayo Hayati. Dialog, gesture serta ekspresinya dieskplore dengan keren  oleh sang sutradara. Big applause berikutnya adalah aktris Karina Suwandi. Jika kamu suka Luna Maya dan Putri Ayudya yang disiksa di film mereka, maka kamu bersiaplah kehadiran Karina Suwandi. Sang sutradara menyiksa Karina boleh aku bilang dua kali lipat lebih “sadis” dibandingkan Luna dan Putri. Bahkan hingga tulisan ini dibuat, bayang-bayang Karina masih membekas banget. Sangat menyeramkan.




Secara teknis, visual dan sound pun aku sangat menyukai film ini. Gambarnya gila mantap banget. Adegan ketika malam hari dan diluar ruangan terasa Hollywood taste. Nyaris tanpa cacat sedikitpun. Sound nya juga aku suka sekali. Tak ada moment hujan deras dan petir menggelegar yang berulang-ulang. Semuanya terasa alami dalam film ini. Dan yang paling aku cintai adalah ada salah satu moment terbaik di film ini sama sekali tidak menggunakan sound alias senyap. Gila sih moment itu sukses membuatku gemeteran, panik dan menahan nafas. Timo Tjahjanto tampak membuktikan bahwa film horror Indonesia itu tak harus berisik dengan sound yang menggelegar. Tanpa suara pun mampu menghadirkan sensasi horror yang jauh lebih mencekam bagi penontonnya.
Klimaks horror film ini juga tampil sangat memuaskan. Dengan durasi hampir mencapai dua jam, Timo berhasil menghadirkan SEBELUM IBLIS MENJEMPUT (2018) yang melampaui ekspetasi para penontonnya. Inilah yang dinamakan film Horror Indonesia yang sempurna. Bahkan menurutku pribadi, film ini sukses melampaui film PENGABDI SETAN (2017) nya Joko Anwar. One of the BEST horror local all the time!

[9.5/10Bintang]