Tuesday, 20 August 2019

[Review] Bumi Manusia: Problematika Hubungan Cinta Orang Pribumi & Gadis Berdarah Belanda


#Description:
Title: Bumi Manusia (2019)
Casts: Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva De Jongh, Sha Ine Febriyanti, Peter Sterk, Giorgino Abraham, Jerome Kurnia, Bryan Dormani, Dewi Irawan, Donny Damara, Ayu Laksmi, Chew Kin Wah, Hans De Krakker, Robert Alexander, Kelly Tandiono, Christian Sugiono, Ciara Nadine Brosnan, Amanda Khairunnisa, Edward Suhadi, Jeroen Lezzer
Director: Hanung Bramantyo
Studio: Falcon Pictures

#Synopsis:
Minke (Iqbaal Ramadhan) adalah seorang anak dari Bupati (Donny Damara) yang berhasil lolos masuk ke sekolah HBS, sekolah khusus untuk orang-orang yang memiliki keturunan Belanda. Minke bisa masuk ke sekolah tersebut lantaran kepintaran dan kemauannya yang gigih meskipun dirinya selalu menjadi bahan olok-olokan oleh teman-teman satu kelasnya.


Suatu hari Minke diajak sahabatnya, Suurhorf (Jerome Kurnia) untuk ikut menemani dirinya bertemu dengan temannya yaitu Robert Mellema (Giorgino Abraham). Suurhorf juga ingin memperlihatkan pada Minke pujaan hatinya yang tak lain adalah adik dari Robert yaitu Annelies Mellema (Mawar Eva De Jongh). Setibanya disana, sikap Robert terhadap Minke ternyata sangat buruk. Ia memperlakukan Minke dengan semena-mena dan bahkan melarang Minke satu meja dengan mereka. Tapi, keadaan berubah disaat Annelies muncul dari dalam rumah. Ia malah sangat ramah pada Minke dan mempersilahkan untuk masuk ke mengobrol dengannya. Minke hanya terdiam karena baru pertama kali dirinya merasa dianggap setara oleh orang berdarah Belanda. Tak cuma itu saja, Minke dibuat terkejut saat bertemu dengan ibu dari Robert dan Annelies yaitu Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti), seorang wanita pribumi tulen yang memiliki penampilan tidak seperti Nyai-Nyai biasanya. Nyai Ontosoroh mempunyai dua orang anak dari seorang prajurit Belanda bernama Herman Mellema (Peter Sterk). Berkat Herman lah, Nyai Ontosoroh kini mampu mengelola dengan baik segala usaha yang perkebunan dan peternakan yang mereka jalani bersama.


Pertemuan pertama Annelies dengan Minke rupanya membuat ia terus memikirkan Minke. Annelies ingin menjadi warga pribumi seutuhnya, sama seperti ibunya dan juga kelak nanti memiliki pasangan yang berasal dari pribumi. Melihat anaknya sedang dilanda kasmaran, Nyai Ontosoroh berinisiatif mengundang kembali Minke ke rumahnya. Intensitas pertemuan Annelies dan Minke yang semakin sering ini membuat benih asmara tumbuh diantara mereka. Bahkan Annelies selalu merasa tak berdaya jika Minke ada disampingnya. Nyai Ontosoroh lalu mempersilahkan Minke untuk tinggal menetap di rumahnya agar bisa bertemu setiap hari dengan anaknya. Akibat sering berkunjung ke kediaman Annelies, membuat Minke jadi sering membolos ke sekolahnya.



Sementara itu, Minke terus melihat dan merasakan ketidakadilan yang ada disekitarnya akibat hukum yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Hukuman dan segala peraturan yang ada di wilayahnya itu membuat warga pribumi sangat tertindas. Minke lalu mulai belajar cara memperjuangkan haknya pada Nyai Ontosoroh, karena bagi dirinya sosok Nyai Ontosoroh itu merupakan orang dengan sudut pandang modern dan menentang segala hukum yang merugikan warga pribumi.


Keberadaan Minke di keluarga Mellema mulai mendapat perhatian dari kedua orangtua Minke. Ayahnya yang baru saja dilantik menjadi Bupati dan ibunya (Ayu Laksmi) kini merasa anaknya sudah terlalu hidup modern dan jati dirinya sebagai seorang jawan tulen telah luntur. Tak cuma itu saja, Minke juga terpaksa ikut terlibat konflik yang ada di dalam keluarga Mellema. Bahkan Minke dan Nyai Ontosoroh terancam masuk penjara lantaran apa yang terjadi pada Herman, Robert dan Annelies. Mampukah Minke dan Nyai Ontosoroh mempertahankan haknya mereka ditengah hukuman kolonial Belanda yang berlaku?


#Review:
Gaung novel besar karya sastrawan Pramudya Ananta Toer yang akan diangkat ke layar lebar sudah menggema dari bertahun-tahun silam. Nama-nama sutradara besar seperti Joko Anwar, Garin Nugroho, Riri Riza-Mira Lesmana hingga Anggy Umbara dikabarkan akan menyutradarai film ini.  Akhirnya, rumah produksi yang berhasil mendapatkan copyright buku ini adalah Falcon Pictures dan menggandeng Hanung Bramantyo untuk duduk di bangku kursi sutradara.


Sebagai penonton awam yang TIDAK membaca novelnya sama sekali, aku berhasil menikmati keseluruhan ribetnya kisah cinta antara orang pribumi dengan orang blasteran pada saat penjajahan kolonial Belanda di Indonesia. Durasi yang melar mencapai tiga jam tak membuatku kebosanan. Hanung Bramantyo menurutku jika ia menggarap film-film besar dan bertema kemerdekaan itu terasa menjadi comfort zone baginya. Nasib film BUMI MANUSIA (2019) juga dibuat se-enjoy mungkin oleh Hanung agar bisa dinikmati oleh siapapun. Enam puluh menit awal penonton disuguhkan dengan kisah cinta pada pandangan pertama antara Minke dan Annelies. Beberapa moment mereka terasa lucu dan kikuk. Serasa melihat Dilan di zaman era kolonial Belanda dan juga beberapa scene sedikit mengingatkanku pada film TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK (2013).
Menuju pertengahan durasi film, penonton diajak untuk melihat kekuasaan para penjajah di tanah pribumi begitu mengekang kebebasan warganya. Kita diperlihatkan dengan nyata, para penjajah Belanda dengan lancang menyebut monyet terhadap warga pribumi, diperlakukan budak dan tidak menghargai perempuan. Tak cuma itu saja, peraturan hukum soal hak asuh anak pada zaman kolonial Belanda dalam film ini digambarkan begitu tidak adil. Meskipun anak itu sudah menikah dengan pribumi sekalipun tetap tidak sah dimata hukum Belanda. Moment-moment konflik soal keluarga Mellema sukses memberikan ketegangan yang cukup intense disepanjang film. Durasi 181 menit ini sama sekali tidak terasa dan konflik yang menimpa Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies terus datang tanpa henti.


Disaat semua orang meragukan keputusan karakter Minke diperankan Iqbaal Ramadhan dan Annelies diperankan Mawar Eva De Jongh, tapi ternyata penampilan mereka itu menurutku bagus. Keduanya begitu lancar dan fasih disaat berdialog bahasa Belanda. Meskipun aura Iqbaal masih terlihat Dilan banget tapi untungnya permainan emosi ia jauh lebih oke di film BUMI MANUSIA (2019) ini. Aktris muda baru Mawa Eva De Jongh juga ditangan Hanung Bramantyo tampil memukau. Tak cuma mereka saja, para supporting aktor aktris lainnya yang mayoritas dihiasi bintang muda tampil tak kalah luar biasanya. Giorgino Abraham dan Jerome Kurnia disulap menjadi sosok Robert dan Suurhorf yang sangat mengintimidasi. Penampilan paling bersinar dalam film BUMI MANUSIA (2019) ini jatuh ke tangan Sha Ine Febriyanti yang memerankan karakter Nyai Ontosoroh. Ine begitu luar biasa menghadirkan permainan emosi, ekspresi muka dan struggling seorang Nyai sekaligus ibu dari anaknya yang menjadi sengketa. Babak akhir film ini menjadi sangat klimaks dan tragis disaat tiga pemeran utama dalam film ini yaitu Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva De Jongh dan Sha Ine Febriyanti beradu akting menunjukkan kualitas mereka masing-masing.



Untuk segi tata artistik, seperti biasanya Falcon Pictures selalu jor-joran dalam membuat set lokasi. Mereka membangun sendiri rumah-rumah dan bangunan khas zaman kolonial Belanda yang terlihat oke meskipun sangat terlihat bangunan-bangunan itu adalah set lokasi film. Penggunaan filter di film ini menurutku terlalu modern sehingga look tahun 1900an nya jadi berasa kurang meyakinkan.
Overall, film BUMI MANUSIA (2019) ini berhasil menyajikan sebuah tontonan yang menarik dan mudah untuk dipahami. Terima kasih kepada Hanung Bramantyo dan Salman Aristo sudah mem-visualkan buku Pramudya Ananta Toer ini dengan baik.


[8/10Bintang]

0 comments:

Post a Comment