Friday, 11 May 2018

[Review] 212 The Power of Love: Damai Adalah Islam Sesungguhnya


#Description:
Title: 212 The Power of Love (2018)
Casts: Fauzi Baadila, Humaidi Abas, Abdul Hakim, Meyda Sefira, Hamas  Syahid, Rony Dozer, Asmanadia
Director: Jastis Arimba
Studio: Warna Pictures

#Synopsis:
Rahmat (Fauzi Baadila) seorang jurnalis tabloid Republik yang idealis dan realistis dalam hidupnya mendapat kabar duka, Ibu nya yang tinggal dikampung halaman tepatnya di Ciamis, meninggal dunia. Hal itu membuat ia memutuskan untuk pulang kampung setelah 10 tahun tidak pernah pulang. Perjalanan pulang ke kampung halamannya ia ditemani oleh Adhin (Abdul Hakim), satu-satunya teman yang dimiliki oleh Rahmat.
Setibanya di Ciamis, Rahmat bertemu kembali dengan ayahnya, Zainal (Humaidi Abas) yang merupakan seorang pemuka agama di kampung tersebut. Pulang kampungnya Rahmat tidak membuat sang ayah merasa bahagia, ia justru malah kecewa lantaran anak kandungnya itu menulis artikel tentang menyudutkan Islam secara terang-terangan di tabloid. Tak hanya itu saja, sikap Rahmat yang tak pulang-pulang dan nyaris hilang kabar selama 10 tahun lamanya itu juga membuat hadirnya konflik dan perselisihan pendapat antara Zainal dan Rahmat.
Usai acara pemakaman almarhum ibu, Rahmat mendengar kabar dari teman semasa kecilnya yaitu Yasna (Meyda Sefira) dan Abrar (Hamas Syahid) bahwa Zainal beserta murid-muridnya akan melakukan aksi longmarch dari Ciamis menuju Monas, Jakarta untuk mengikuti Aksi Damai 212, Jumat, 2 Desember 2016. Rahmat beranggapan bahwa aksi demonstrasi umat Islam yang akan digelar itu akan memicu konflik besar, karena bermuatan politis dan pasti memakan korban jiwa yang tak sedikit. Ia lalu mencoba untuk menghentikan rencana sang ayah untuk melakukan aksi yang menurut Rahmat itu adalah aksi yang konyol. 
Namun, Zainal bersih keras akan melakukan longmarch sepanjang 300 kilometer lebih bersama umat muslim lainnya untuk membuktikan kecintaannya terhadap agama Islam dan Allah SWT. Tak hanya itu saja, jutaan umat Islam yang juga akan datang ke Monas, Jakarta ingin membuktikan bahwa mereka datang penuh dengan solidaritas dan cinta. Bukan untuk mengacaukan keadaan.
Akankah peristiwa Aksi Damai 212 itu akan membuat hubungan antara Rahmat dan ayahnya menjadi membaik?


#Review: 
Aksi Damai 2 Desember 2016 lalu boleh dikatakan sebagai salah satu moment paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Jutaan orang dari seluruh pelosok negeri berkumpul di Monas, Jakarta untuk menujukkan rasa cinta dan rasa membela mereka kepada agama yang mereka anut yaitu agama Islam. Aksi damai yang dilakukan itu terjadi usai kontroversi pidato berisikan (konon) penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama. Umat Islam terasa disakiti oleh pidato tersebut.
Namun untungnya, Film ini tidak terlalu membahas lebih detail tentang kejadian tersebut karena berpotensi memicu hal-hal yang tak diinginkan. Disini sang sutradara dan penulis skenario justru  menghadirkan sisi lain dari Aksi Damai 212 yaitu hubungan dan konflik antara ayah dan anak ditengah jutaan umat Islam yang mengikuti aksi ini.
Disini kita bertemu dengan sosok Rahmat dan ayahnya, Zainal. Keduanya sangat bertolak belakang. Rahmat anti-religi, sedangakan ayahnya adalah kebalikan dari Rahmat. Aku cukup menikmati plot cerita ayah-anak dalam film ini dan sedikit mengingatkanku pada film MENCARI HILAL (2015), karya Hanung Bramantyo dan Ismail Basbeth yang sama-sama mengeksplor hubungan antara ayah dengan anak, meskipun dalam film ini terasa dramatisir dibeberapa bagian. 


Aku juga suka cara Jastis Arimba memberikan konflik antar ayah-anak ini masing-masing mempunyai watak dan sifat yang sama satu sama lain. Dua-duanya begitu kekeuh dengan pendirian masing-masing tapi mereka mempunyai alasan yang cukup kuat juga. Yang agak sedikit kurang pas dalam segi cerita film ini menurutku adalah dramatisasi asmaranya. Jika ditampilkan dengan tujuan untuk mempermanis film saja, aku rasa tidak begitu penting. Karena film ini mempunyai plot ayah-anak dengan background Aksi Damai 212 saja sebetulnya sudah cukup. Untungnya sisi percintaannya disini sedikit tertutupi oleh chemistry antara Rahmat dan sahabatnya, Adhin. Aku cukup terhibur disaat mereka berdua beradu argumentasi. Terasa pas tak terlalu berlebihan. Yang kusuka berikutnya adalah penggabungan cerita ini dengan beberapa selingan cuplikan dokumenter asli Aksi Damai 212 lalu itu cukup sukses membuat mataku berkaca-kaca, teringat kembali akan moment itu. Subhanallah. 
Tata artistik, sinematografi dan camera works dalam film ini agak mengecewakan. Ini yang sangat disayangkan. Beberapa adegan yang menggunakan greenscreen masih sangat terlihat dengan jelas. Beberapa dialog juga menurutku terasa seperti ada yg di dubbing dan itu tidak sinkron antara suara dan gerak mulut. Ditambah lagi penggunaan bahasa dan logat sunda dibeberapa adegan dalam film ini masih terasa banget bukan USA (Urang Sunda Asli). 
Fauzi Baadila, Humaidi Abas dan Abdul Hakim menurutku menjadi nyawa utama dalam film ini. Tanpa chemistry mereka satu sama lain yang oke, mungkin film ini akan berakhir kaku dan penuh dramatisasi semata.


Overall, 212 THE POWER OF LOVE (2018) ini tidak terlalu mengecewakan dan tidak jelek juga. Disini kita bisa merasakan bahwa Islam yang sesunggunya adalah cinta akan kedamaian. Andai beberapa kekurangan dalam film ini yang sudah disebutkan diatas bisa diperbaiki mungkin akan jauh lebih baik lagi.
Terima kasih untuk Warna Pictures karena, gara-gara film ini banyak orang mengajak keluarga besarnya hingga orang lanjut usia juga bela-belain untuk menonton film ini. Bahkan beberapa orang ketika aku menanyakan, ini pengalaman pertama mereka nonton film dan ngantri di bioskop komersil. Alhamdulillah juga, antusiasme penonton 212 THE POWER OF LOVE (2018) sangat tinggi bahkan hingga show terakhir selalu sold-out sampai terakhir postingan ini dibuat.

[7/10Bintang]

0 comments:

Post a Comment